sistem banyak partai sangat tidak menguntungkan bagi indonesia karena

BanyakPartai Hambat Efektifitas Pemerintahan. SISTEM multi partai yang dianut Indonesia saat ini dinilai mengganggu efektifitas pemerintahan yang menganut system presidensial. Meskipun tidak dikenal adanya pertanggungjawaban eksekutif ke legislatif, namun akan menghambat pengambilan kebijakan, misalkan dalam pembuatan APBN. Akibatdikeluarkannya maklumat pemerintah 3 november 1945, di Indonesia akhirnya muncul banyak partai politik. Sistem banyak partai sangat tidak menguntungkan bagi Indonesia karena? terlalu banyak partai politik yang menjadi peserta Pemilu; sulit membangun partai politik yang kuat dan didukung oleh rakyat; pemerintah yang stabil tidak dapat SistemMulti-partai di Indonesia. Sistem multi-partai di Indonesia mempunyai sejarah yang sangat panjang. Kata partai politik berasal dari kata pars dalam bahasa latin, yang berarti bagian. Defenisi tertua mengenai partai politik mungkin bisa dirujuk dari pendapat Edmund Burke, tokoh politik Inggris (1729-1797) Burke pada tahun 1771 menulis Contohperan partai politik disini sebagai representasi dari perwakilan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi-aspirasi rakyat. Partai dengan perolehan suara terbanyak memperoleh beban dan kewajiban sebagai badan legislatif untuk memperjuangkan hak-hak rakyat. Baca juga : Aspek-aspek yang Menjadi Landasan Politik Luar Negeri di Indonesia. Pengaturanlebih lanjut dapat dikaji melalui Al-Qur'an Surat An-Nisa ayat 92: "dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang Künstliche Befruchtung Als Single In Deutschland. Jakarta, IDN Times - Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki banyak partai politik multipartai di dalam sistem pemerintahannya, karena sesuai asas yang dianut Indonesia, yaitu politik bermunculan setelah runtuhnya Orde Baru, karena keran demokrasi seakan terbuka lebar usai dikunci rapat oleh rezim Soeharto. Reformasi menjadikan partai politik tumbuh subur di Tanah Pemilihan Umum KPU mencatat, sedikitnya ada 20 partai politik nasional dan empat partai lokal yang meramaikan pemilu serentak 2019. Lalu, apa sih untung dan ruginya jika Indonesia memiliki banyak partai? Baca Juga Biar Tetap Eksis, Partai Gelora Harus Rekrut Kader Militan PKS 1. Kelebihan banyak partai adalah masyarakat punya banyak pilihan menyerap aspirasinyaIDN Times/RochmanudinPengamat Politik Universitas Al-Azhar Ujang Komaruddin mengatakan, lahirnya sejumlah partai politik setelah reformasi, karena banyak aspirasi masyarakat yang tidak bisa diserap maksimal oleh partai yang telah eksis sebelumnya.“Ya karena masyarakat heterogen, akhirnya semua ingin berkuasa. Apa untungnya? ya masyarakat punya banyak pilihan. Banyak program-program yang disampaikan oleh banyak partai itu, sehingga masyarakat memiliki alternatif memilih partai mana yang terbaik,” kata Ujang saat dihubungi IDN Times, Senin 18/11.2. Kekurangan multi partai adalah banyak kepentingan dan konflikSusunan Wamen Kabinet Indonesia Maju IDN Times/Teatrika PutriNamun, Ujang mengatakan, lahirnya banyak partai baru sekarang ini tidak diimbangi dengan konsistensi partai dalam menjalankan program dam ideologinya di lapangan, sehingga lebih banyak dampak negatifnya.“Kekurangnnya terlalu banyak, politik menjadi gaduh, lalu banyak kepentingan, konflik dan intrik-intrik,” kata Banyak partai politik melahirkan politik transaksionalIlustrasi ANTARA FOTO/M Risyal HidayatMenurut Ujang banyak partai politik di Indonesia juga akhirnya melahirkan politik transaksional, yang tidak baik untuk keberlangsungan demokrasi.“Ya misalnya kayak kemarin, banyak partai koalisi Jokowi yang gaduh tidak kebagian jatah di kabinet. Akhirnya kan lahir opsi adanya wakil menteri, itu untuk akomodir partai yang belum kebagian jabatan seperti Hanura dan lain-lain,” kata dia, Indonesia harus belajar dari Amerika untuk mengelola partai yang banyakIlustrasi Gedung Putih Pexels/Aaron KittredgeUjang menuturkan, Indonesia seharus nya bisa mencontoh Amerika Serikat. Meskipun banyak partai yang eksis, namun hanya ada dua partai besar yang berkuasa, yaitu Partai Demokrat dan Republik.“Kita ini mirip-mirip Amerika lah negaranya, demokrasi lalu presidensial. Kita juga penduduknya banyak sama kayak Amerika. Kalau kita hampir semua partai besar. Nah, tentu tadi kekurangannya adalah ketika terjadi banyak kepentingan akan gaduh,” tutur dia. Baca Juga 3 Menteri Jokowi Ini Masih Menjabat Ketua Umum Partai Politik Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Partai politik sesunguhnya merupakan sebuah wadah, yang mempunyai fungsi untuk menyatukan orang-orang yang memiliki visi dan misi yang sama dalam penyelenggaraan tanggal 3 November 1945 Moh Hatta selaku Presiden pada saat itu mengeluarkan Maklumat yang mana mengharuskan adanya partai-partai politik, Isi daripada Maklumat Wakil Presiden yakni; "pertama,pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan partai-partai politik itulah yang dapat dipimipin ke jalan yang teratur segala aliran yang ada dalam masyarakat; Kedua,pemerintah berharap supaya partai politik-partai politik telah tersusun sebelum dilangsungkanya pemilihan anggota badan-badan perwakilan rakyat pada bulan Januari 1946" keluarnya Maklumat ini yang selanjutnya membawa Indonesia kedalam era sebelum dikeluarkan Maklumat pada tanggal 3 November ini Maklumat yang pertama kali keluar ialah Maklumat Wakil Presiden Tahun 1945 pada tanggal 16 Oktober 1945 mengenai perubahan peran dan fungsi sebagai ganti keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dan konsekuensinya kekuasaan Presiden menjadi berkurang, sistem Parlementer ini yang membuat presiden tidak lagi berkedudukan sebagai kepala pemerintahan namun hanya sebagai kepala negara. Dengan demikian mengharuskan adanya partai-partai politik, Maka dikeluarkankanlah Maklumat pada tanggal 3 November. Dari undang-undang nomor 2 tahun 1999 tentang partai politik yang menjadikan kepartaian pada era reformasi dipenuhi oleh partai yang mana lahir dengan cara mengambil isnpirasi kepartaian pada masa pasca kemerdekaan, partai yang dikonstruksi pada masa orde baru dan partai-partai yang baru tidak memiliki presiden historissebelumnya, hampir seluruhaliran ideologi dan partai yang pernah hidup pada masa sebelumnya, kecuali partai komunis hadir kembali dan berkonsentrasi dengan partai-partai baru. Dan sampai pada saat ini Indonesia masih menganut sistem multi partai yangmana telah di atur dalam pasal 6A ayat 2 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Terdapat lebih dari dua partai yang berdiri. Sedikit memaparkan Kelemahan Sistem MultiPartai yang mana telah dianut di Indonesia antara lainPemerintah tidak memiliki kestabilan karena banyaknya partai yang membuat tidak adanya sebuah partai yang mampu mendukung pemerintahan dan harus melalui koalisi, Pemerintah terkadang ragu dan banyak program yang kurang efektif, Sistem multi partai cenderung lamban dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi,Logika "lingkaran setan" karena semakin banyaknya partai politik semakin banyak pilihan, Semakin banyak pilihan, akan semakin sulit memilih, Semakin sulit memilih semakin banyak yang tidak memilih dan Semakin banyak Golput, semakin mundur arti sebuah demokrasi. Jadi Semakin Banyak Partai artinya Semakin Jelek Kualitas Demokrasi nyaMenurunkan fungsi nasionalisme terhadap negara Indonesia karena saking banyaknya partai politik yang ada, Menimbulkan persaingan tidak yang tidak sehat, Saling menjatuhkan antara partai satu dan yang lainnya. Menghambat kelancaran semua program kerja politik dalam arti tidak sehat yang melakukan money politic lobi-lobi dan memberikan uang kepada rakyat agar memilih partai tersebut. Dari sini lah sifat-sifat para pemerintah yang akan korupsi muncul. Pemerintah tidak fokus lagi terhadap rakyat, melainkan fokus bagaimana cara mempertahankan konflik Partai politik satu dengan yang lainnya tidak akan terlalu jauh, sehingga muaranya akan kearah bagi-bagi akan semakin Gemuk sebagai akibat dari banyaknya kepentingan partai yang harus diakomodir dan sulit menempatkan orang yang "benar ditempat yang benar".Biaya Politik yang sangat besar, karena adanya subsidi pemerintah kepada partai-partai. contoh ; ringanya dalam pembuatan kartu suara, kalau partainya seperti sekarang ini, kemungkinan kartu suara akan selebar Koran dibandingkan dengan sedikit partai. Dari sisi ini saja sudah memboroskan keuangan Negara. Banyaknya Uang yang di investasikan pada hal-hal yang "kurang produktiv" bagi masyarakat. contoh ringannya saja, lihat, hitung dan analisa sendiri, berapa rupiah yang dihamburkan hanya untuk membuat sticker, baliho, spanduk, bendera dan iklan politik. Dan jika dilihat keadaan politik pada saat ini partai yang tidak memenangkan suara hanya akan menjadi oposisi dalam mengkritisi partai yang menang dengan demikian akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat Demikianlah efek-efeknya yang muncul bilamana menganut sistem kepartaian letak geografisnya wilayah Indonesia, memerlukan suara satu kesatuan untuk membangun negara Indonesia untuk mensejahterakan seluruh rakyat dan kekuatan bangsaNya. Bila tidak adanya kesatuan dari negeri ini sendiri, maka pacahanya akan mempengaruhi eksistensinya di mata dunia dan khususnya dengan negara-negara tetangga. pengaruh pecahnya suara didalam negeri ini dapat dilihat dari caruk-maruknya kondisi sosial dan politikNya terlebih karena dipengaruhi Suku, Ras serta kuncinya untuk membangun keadaan politik yang kondusif dan berkualitas adalah membentuk sistem kepartaian Dui Partai yakni Dua partai yang mana jika Salah satu partai menang sebagai Presiden & Wakil Presiden dan Partai yang kalah bisa menduduki kursi-kursi sebagai menteri dengan demikian keadilan akan terwujud di negara Indonesia. Lihat Politik Selengkapnya Bulan lalu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dalam sebuah Kongres luar biasa yang kontroversial di Medan, Sumatera Utara. Terpilihnya Moeldoko “mendepak” Agus Harimurti Yudhoyono, putra pertama mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono SBY - Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat. Awal bulan ini, pemerintah menolak permohonan pengesahan kepengurusan Partai Demokrat yang diajukan kubu Moeldoko. Dengan demikian Agus tetap menjadi ketua umum. Perpecahan di Partai Demokrat - walau tidak berlangsung lama - bukanlah perpecahan partai politik Indonesia yang pertama. Sebelumnya, Partai Persatuan Pembangunan PPP dan Partai Golkar juga sempat terbelah. Saya meneliti bagaimana partai-partai dan sistem partai di Indonesia mengalami perubahan sejak jatuhnya Soeharto yang disusul perubahan pada sistem pemilihan umum pemilu demokratis dan langsung. Sistem presidensial di Indonesia menciptakan dinamika politik yang sangat khas. Sistem ini mendorong terbentuknya faksi-faksi dalam partai politik berupa perpecahan yang terdorong bukan karena perbedaan ide-ide kebijakan, namun demi harta, jabatan, dan kekuasaan. Dampak sistem presidensial Secara umum, ciri sistem presidensial adalah dua sumber kekuasaan dan cara mempertahankan kekuasaan yang berbeda presiden dan parlemen sama-sama dipilih secara langsung, dan presiden hanya bisa diturunkan lewat proses pemakzulan. Selama Orde Baru, Soeharto memiliki kekuasaan yang sangat besar dan tidak diawasi; Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR hanya lembaga tertinggi negara di atas kertas. Soeharto mengendalikan Golkar - partai rezim - dan berhasil menekan Partai Demokrasi Indonesia PDI dan PPP yang ketika itu dianggap partai semi-oposisi. Setelah Orde Baru jatuh, kekuasaan perundang-undangan Dewan Perwakilan Rakyat DPR menguat sangat pesat. Meski demikian, masa-masa awal Reformasi diwarnai ketidakpastian. Penurunan Presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid pada 2001 adalah akibat kemelut antara DPR, MPR, dan sang presiden yang memiliki perbedaan pandang jauh dengan parlemen tentang apa yang menjadi otoritasnya. Karena kekisruhan pasca kejatuhan Gus Dur, pemilihan presiden secara langsung untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia diadakan pada 2004. Sistem presidensial cenderung mendorong pembentukan faksi-faksi faksionalisme tersendiri, terutama berkaitan pada adanya dualisme antara presiden dan partainya. Karena presiden dipilih langsung, ia tidak bergantung pada parlemen dan partai politik layaknya seorang perdana menteri. Faksionalisme dalam sistem presidensial tentu saja bukan sekadar soal peraturan-peraturan yang mendorong organisasi atau institusi partai yang baik. Partai politik dapat terpecah jika demokrasi dalam partai tinggi, jika ekonomi politik partai tidak menguntungkan satu pihak saja, jika partai tidak terlalu terpusat, jika peraturan internal misalnya soal keanggotaan atau pemilihan ketua tidak terlalu jelas, dan seterusnya. Perpecahan internal juga tidak akan mudah menyebabkan munculnya partai-partai baru karena banyak tantangan dari luar. Di Indonesia, partai baru tidak memiliki peluang sukses yang realistis karena, misalnya, tingginya ambang batas elektoral, peraturan yang menuntut jumlah cabang yang banyak, dan tingginya biaya kampanye. Di sini, sistem presidensial telah membawa setidaknya tiga dampak. Pertama, terbentuknya partai-partai politik dengan tujuan untuk mendukung calon presiden atau calon pemegang jabatan penting lainnya. Partai Demokrat, Partai Hanura, Gerindra, dan Partai NasDem adalah contoh-contoh utama. Hal ini hanya mungkin terjadi dalam suatu sistem politik yang memungkinkan orang-orang kaya untuk membangun kendaraan-kendaraan politik dari nol. Sistem presidensial mendorong munculnya pemimpin-pemimpin karismatik yang memiliki kendaraan politik sendiri. Faksionalisme dalam partai-partai semacam ini tidak banyak terjadi jika kepemimpinan partai sangat kuat misalnya Prabowo Subianto di Gerindra. Tapi faksionalisme meningkat jika pemimpin partai - dalam kasus ini SBY di Partai Demokrat - mengizinkan adanya persaingan atau tidak mampu mencegah persaingan. Kedua, munculnya orang-orang luar seperti Presiden Joko “Jokowi” Widodo, yang sukses tanpa memiliki partai sendiri - atau paling tidak tanpa akar kuat di salah satu partai besar. Dalam situasi ini, sistem presidensial akan menciptakan dualisme antara si orang luar dan mesin partai. Ini tampak dalam ketegangan antara Jokowi dan Megawati Soekarnoputri, pemimpin Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PDI-P. Ketiga, selama beberapa tahun terakhir Jokowi telah menjadi presiden yang sangat kuat dan tampaknya mampu secara tidak langsung mencampuri konflik internal partai-partai lain untuk menciptakan faksi yang mendukung dia. Contohnya yang terjadi di PPP, Golkar, dan mungkin juga di Partai Demokrat. Perpecahan dalam Partai Demokrat kemarin bisa dilihat memiliki karakter campuran ketiga dampak di atas. Jokowi kiri dan Megawati Soekarnoputri. Setpres/Antara Foto Jalan keluar Partai-partai politik di Indonesia berkolusi dan membangun koalisi-koalisi besar; platform mereka tidak jauh berbeda satu sama lain. Nyaris tidak ada perbedaan antara partai sayap kiri dan sayap kanan. Partai-partai itu telah menjadi bagian suatu kartel dan telah terlibat dalam banyak kasus korupsi di tingkat nasional dan daerah. Perpecahan dalam partai terjadi sebagai bentuk faksionalisme berciri klientelisme - dengan kata lain rebutan soal uang, jabatan, dan kekuasaan. Sebaliknya, faksionalisme berbasis kebijakan - sesuatu yang jarang bahkan tidak ada di Indonesia - terjadi karena ideologi politik. Perpecahan antara kelompok-kelompok dalam partai terjadi karena perbedaan ide dan strategi politik. Indonesia membutuhkan partai-partai dengan platfrom yang jelas, yang mewakili spektrum politik sepenuhnya, dari sayap kiri hingga kanan. Untuk mendorong ini, DPR dan pemerintah perlu memulai adanya aturan ketat soal partai dan pendanaan kandidat serta pemilihan calon berdasarkan aturan mengikat dalam prosedur internal partai. Mungkin dengan itu, nantinya kelompok-kelompok internal partai tidak lagi memandang organisasi mereka sebagai alat-alat kekuasaan dan keuntungan diri. Namun, kelompok-kelompok itu bisa mulai berdebat soal isu-isu politik yang kompleks tentang keuangan, ekonomi, lingkungan dan kesehatan demi kepentingan para pemilih Indonesia. Artikel ini berupaya meninjau kembali praktik koalisi partai politik di tengah sistem presidensial pasca reformasi, dan menilai sejauh mana dampaknya terhadap kestabilan pemerintahan. Pasca reformasi 1998, sejumlah besar partai politik telah didirikan, menunjukkan bahwa munculnya fragmentasi politik adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Alih-alih melaksanakan pemerintahan secara sehat, partai politik membentuk koalisi untuk memperkuat kedudukan mereka di parlemen. Implikasi penerapan multi partai dalam sistem presidensial ini seringkali menimbulkan deadlock antara eksekutif dan legislatif. Sistem presidensial yang dikombinaasikan dengan sistem multi partai dapat menjadi sistem yang stabil dan efektif dengan cara penyederhanaan partai politik, desain pelembagaan koalisi, dan pengaturan pelembagaan oposisi. Namun di sisi lain koalisi juga menjadi sangat berpengaruh pada stabilitas pemerintahan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, artikel ini bertujuan untuk meneliti politik hukum terkait praktik koalisi partai politik di Indonesia dan mengetahui upaya-upaya dalam praktik ketatanegaraan yang dapat merealisasikan stabilitas sistem pemerintahan presidensial pada koalisi di multi partai. Artikel ini menemukan kesimpulan bahwa model pemilihan legislatif dan eksekutif yang dipilih langsung oleh rakyat justru menjadi penyebab disharmonisasi antara legislatif dan eksekutif yang mengarah kepada terjadinya kebuntuan antar kedua lembaga tersebut. Lebih-lebih apabila yang menguasai lembaga ekesekutif dan lembaga legislatif adalah dari latar belakang partai politik yang berbeda. Akibatnya, praktik koalisi seperti ini cenderung mengakibatkan lebih banyak masalah, sehingga penerapan sistem ini memiliki dampak signifikan terhadap demokrasi yang didefinisikan dan dinegosiasikan. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Jurnal Kertha Semaya, Vol. 9 No. 1 Tahun 2020, hlm. 131-148 131 KOALISI PARTAI POLITIK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP SISTEM PRESIDENSIAL MULTIPARTAI DI INDONESIA Moch. Marsa Taufiqurrohman, Fakultas Hukum Universitas Jember, E-mail mochmarsa_t doi ABSTRAK Artikel ini berupaya meninjau kembali praktik koalisi partai politik di tengah sistem presidensial pasca reformasi, dan menilai sejauh mana dampaknya terhadap kestabilan pemerintahan. Pasca reformasi 1998, sejumlah besar partai politik telah didirikan, menunjukkan bahwa munculnya fragmentasi politik adalah sesuatu yang tidak terhindarkan. Alih-alih melaksanakan pemerintahan secara sehat, partai politik membentuk koalisi untuk memperkuat kedudukan mereka di parlemen. Implikasi penerapan multi partai dalam sistem presidensial ini seringkali menimbulkan deadlock antara eksekutif dan legislatif. Sistem presidensial yang dikombinasikan dengan sistem multi partai dapat menjadi sistem yang stabil dan efektif dengan cara penyederhanaan partai politik, desain pelembagaan koalisi, dan pengaturan pelembagaan oposisi. Namun di sisi lain koalisi juga menjadi sangat berpengaruh pada stabilitas pemerintahan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, artikel ini bertujuan untuk meneliti politik hukum terkait praktik koalisi partai politik di Indonesia dan mengetahui upaya-upaya dalam praktik ketatanegaraan yang dapat merealisasikan stabilitas sistem pemerintahan presidensial pada koalisi di multi partai. Artikel ini menemukan kesimpulan bahwa model pemilihan legislatif dan eksekutif yang dipilih langsung oleh rakyat justru menjadi penyebab disharmonisasi antara legislatif dan eksekutif yang mengarah kepada terjadinya kebuntuan antar kedua lembaga tersebut. Lebih-lebih apabila yang menguasai lembaga ekesekutif dan lembaga legislatif adalah dari latar belakang partai politik yang berbeda. Akibatnya, praktik koalisi seperti ini cenderung mengakibatkan lebih banyak masalah, sehingga penerapan sistem ini memiliki dampak signifikan terhadap demokrasi yang didefinisikan dan dinegosiasikan. Kata Kunci Implikasi Koalisi, Partai Politik, Sistem Presidensial. ABSTRACT This article attempts to review the practice of coalitions of political parties in the post-reform presidential system and assess the extent of their impact on the stability of the government. Post-1998 reform, a large number of political parties have been established, suggesting that the emergence of political fragmentation is inevitable. Instead of implementing a healthy government, political parties formed coalitions to strengthen their positions in parliament. The implication of implementing multi-party in the presidential system often creates deadlocks between the executive and the legislature. A presidential system combined with a multi-party system can become a stable and effective system by simplifying political parties, designing institutionalized coalitions, and organizing opposition institutions. But on the other hand, the coalition has also greatly influenced the stability of the government. By using normative juridical research methods, this article aims to examine legal politics related to the practice of political party coalitions in Indonesia and to find out the efforts in state administration practices that can realize the stability of the presidential system of government in multi-party coalitions. This article finds the conclusion that the legislative and executive election models directly elected by the people are the cause of disharmony between the legislature and the executive which leads to a deadlock between the two institutions. This is even more so if those who control the executive and legislative bodies are from E-ISSN Nomor 2303-0569 Jurnal Kertha Semaya, Vol. 9 No. 1 Tahun 2020, hlm. 131-148 132 different political party backgrounds. As a result, coalition practices like this are likely to cause more problems, so the adoption of these systems has a significant impact on defined and negotiated democracy. Keywords Implications of Coalitions, Political Parties, Presidential System. 1. Pendahuluan Latar Belakang Masalah Dalam sistem pemerintahan presidensial dalam suatu negara heterogen dengan multipartai sangat tidak efektif, karena polarisasi masyarakat yang dimanifestasikan dalam parlemen, menjadikan sebuah parlemen yang bersifat cair, mudah berubah dan sangat fleksibel, hal ini sangat berlawanan dengan hakekat kekuasaan eksekutif pemerintahan presidensial yang bersifat rigid. Rigiditas eksekutif yang tercermin dengan masa jabatan fixed term dan Presiden yang tidak dapat dijatuhkan oleh legislatif, akan membuat frustasi rakyat yang harus menunggu sampai masa jabatan Presiden berakhir baru kemudian memilih kembali Presiden dalam pemilihan pemerintahan presidensial pemilihan umum ada dua yakni pemilihan anggota legislatif dan pemilihan Presiden dan karena Presiden memegang kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan, maka pemilihan umum Presiden menjadi sangat penting yang menentukan arah kebijakan Negara. Dalam sistem ini maka program yang ditawarkan oleh calon presiden merupakan program yang bersifat keeksekutifan. Partai politik dalam pemilihan umum di pemerintahan presidensial lebih bersifat sebagai penopang atau pendukung bagi program calon presiden yang didukungnya. Dengan demikian partai politik cenderung sebagai kendaraan politik untuk memperoleh kedudukan atau jabatan politik, karena popularitas calon presiden menjadi faktor terpenting dalam model pemilihan umum ini dibandingkan dengan program partai yang banyak dijumpai dalam partai politik di Indonesia yakni kurangnya kemampuan untuk membangun kapasitas dan integritas kelembagaan. Paling tidak ada empat hal yang menyebabkan hal tersebut, yaitu 1. Proses rekrutmen anggota partai maupun pimpinan partai, khususnya di tingkat bawah tidak diatur secara utuh dan sistematis. Juga tidak ada aturan yang komprehensif yang mengatur seorang anggota baru untuk bisa duduk di dalam jajaran fungsionaris dan struktur partai 2. Mekanisme komunikasi antara kader partai dan anggota parlemen dengan konstituennya atau rakyat untuk memahami aspirasi yang berkembang di masyarakatnya tidak cukup diatur dan tidak dilakukan; Asep Nurjaman, “The End of Political Party in Indonesia The Case of Weakening Voter’s Loyality in the Local Level, Malang,” The Social Sciences 12, no. 2 2017 5. Sungdeuk Lee dan Burhan Djabir Magenda, “Comparative Case Study on Institutionalization of Ruling Parties Under Military Authoritarianism Democratic Republican Party Under Park Chung-Hee Regime in South Korea 1961-1979 and GOLKAR Under Suharto Regime in Indonesia 1966-1998,” Journal of Social and Political Sciences 2, no. 4 2019 11. Amalinda Savirani, “The Political Middle Class in Post-Soeharto Era Indonesia,” Continuity and Change after Indonesia’s Reforms Contributions to an Ongoing Assessment, 2019, 24. Andi Naharuddin, “ELECTIONS IN INDONESIA AFTER THE FALL OF SOEHARTO,” 2016, 15. Auradian Marta dkk., “The Crisis of Democratic Governance in Contemporary Indonesia,” Jurnal Ilmiah Peuradeun 8, no. 1 2020 8. E-ISSN Nomor 2303-0569 Jurnal Kertha Semaya, Vol. 9 No. 1 Tahun 2020, hlm. 131-148 133 Proses pengkaderan partai secara berjenjang untuk memahami ideologi dan program strategis partai serta peningkatan kemampuan kepemimpinan dilakukan tidak serius dan Matthew Shugart dan Scott Mainwaring, perbedaan utama antara sistem presidensial dengan parlementer ada dua hal yakni Pertama, dalam sistem presidensial presiden dipilih oleh rakyat sedangkan dalam sistem parlementer kepala pemerintahan dipilih oleh parlemen. Kedua, Presiden dan lembaga perwakilan dalam sistem presidensial mempunyai masa jabatan yang tetap fixed term sedangkan dalam sistem parlementer masa jabatan kepala pemerintahan dan parlemen sangat tergantung pada kepercayaan parlemen. Bisa saja parlemen mengajukan mosi tidak percaya kepada kepala pemerintahan sehingga kepala pemerintahan tersebut meletakkan jabatannya di tengah masa jabatannya atau juga kepala pemerintahan membubarkan parlemen dan mempercepat pemilihan umum untuk mengisi parlemen yang pada teori kedaulatan rakyat dan teori demokrasi modern dimana rakyat yang menentukan jalannya negara melalui mekanisme pemilihan umum. Maka pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung merupakan bentuk legitimasi rakyat untuk dalam menjalankan kedaulatannya terhadap Presiden secara langsung oleh rakyat ini bertujuan untuk memberikan legitimasi yang kuat sama seperti halnya legislatif yang anggotanya juga dipilih oleh rakyat. Dengan demikian kedudukan antara presiden dengan lembaga perwakilan sama- sama seimbang. Pemilihan presiden oleh rakyat ini juga bermakna filosofis dimana dalam sistem presidensial, presiden merupakan pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi sekaligus sebagai kepala negara, maka presiden memiliki kekuasaan yang besar dan dengan kekuasaan yang besar ini dibutuhkan seorang pemimpin yang dapat diterima oleh mayoritas dengan sistem presidensial, dalam sistem parlementer pemilihan umum hanya dilakukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yakni parlemen. Dalam sistem ini kedaulatan sepenuhnya dijalankan oleh parlemen. Dalam sistem ini terdapat pemisahan yang tegas antara kepala pemerintahan dengan kepala negara. Dalam sistem pemerintahan presidensial dengan multipartai dimana tidak ada partai politik yang memperoleh suara mayoritas dalam pemilihan umum, maka dalam pembentukan kabinet Presiden harus mempertimbangkan keikutsertaan partai politik lain dalam suatu koalisi. Akan tetapi koalisi ini tidak bersifat permanen karena Diego Fossati, “Electoral reform and partisan dealignment in Indonesia,” International Political Science Review 41, no. 3 2020 11. Blane D. Lewis, “Endogenous district magnitude and political party fragmentation in subnational Indonesia A research note,” Electoral Studies 55 2018 16. Moh Ilham A. Hamudy dan M. Saidi Rifki, “Strengthening the Multi-Party Presidential Government in Indonesia,” Politik Indonesia Indonesian Political Science Review 4, no. 2 2019 18. Eve Warburton dan Edward Aspinall, “Explaining Indonesia’s Democratic Regression,” Contemporary Southeast Asia 41, no. 2 2019 19. Sunny Ummul Firdaus, “Relevansi parliamentary threshold terhadap pelaksanaan pemilu yang demokratis,” Jurnal Konstitusi 8, no. 2 2016 24. Nico Handani Siahaan, “Formula Penyederhanaan Jumlah Partai Politik Di Parlemen Pada Pemilihan Umum Indonesia,” Politika Jurnal Ilmu Politik 7, no. 1 2016 20. Firman Freaddy Busroh, “Reformulasi Penerapan Electoral Threshold dalam Sistem Kepartaian di Indonesia,” Jamal Lex Librum 3, no. 2 2017 20. E-ISSN Nomor 2303-0569 Jurnal Kertha Semaya, Vol. 9 No. 1 Tahun 2020, hlm. 131-148 134 menteri bertanggungjawab langsung kepada Presiden dan tidak kepada parlemen. Oleh karena itu partai politik dalam parlemen tidak mempunyai kewajiban untuk mendukung pemerintah, meskipun memiliki wakil di kabinet. Dua pemilihan umum dalam sistem presidensial merupakan pemilihan umum yang terpisah dan tidak berkaitan sama sekali, sehingga dalam sistem ini sangat dimungkinkan munculnya presiden yang dicalonkan oleh partai politik yang memperoleh kursi minoritas di lembaga perwakilan, hal seperti itu sangat mungkin terjadi dalam sistem multipartai. Oleh karena pemilihan umum yang dilaksanakan secara terpisah dan presiden terpilih belum tentu memperoleh dukungan politik dari legislatif, maka sangat mungkin akan terjadi deadlock dalam persidangan dan pelaksanaan tugas-tugas ketatanegaraan yang mengakibatkan terjadinya ketegangan antara presiden dengan legitimasi politik ini akan sangat berpengaruh dalam sistem multipartai dimana konflik antara presiden dengan lembaga perwakilan merupakan masalah kebijakan politik presiden yang tidak diterima oleh lembaga perwakilan. Karena secara politis kedua lembaga ini dipilih langsung oleh rakyat, maka dikhawatirkan yang muncul adalah politik pengerahan massa untuk memperlemah kedudukan politik lembaga negara berskaitan dengan lembaga mana yang lebih memiliki hak guna menyuarakan suara rakyat. Kondisi deadlock dalam sistem presidensial akan semakin rumit karena presiden memiliki masa jabatan yang pasti fixed term yang dilindungi oleh konstitusi serta lembaga legislatif juga tidak dapat dibubarkan untuk segera diselenggarakan pemilihan pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat yang berlaku adalah sistem winner takes all atau mayoritas sederhana, yakni calon yang memperoleh suara 50% plus satu akan ditetapkan sebagai pemenang. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 6A ayat 3 menyebutkan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dengan sedikitnya dua puluh 25% suara tersebar di lebih dari setengah jumlah propinsi di Indonesia ditetapkan sebagai pemenang. Dengan ketentuan seperti ini merupakan sistem mayoritas sederhana simple majority system. Dalam kerangka sistem multipartai dimana tidak ada partai politik yang dominan, maka secara teoritis akan muncul banyak pasangan calon presiden. Meskipun syarat pencalonan presiden hanya bisa dilakukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh jumlah kursi atau jumlah suara tertentu, berdasarkan Undang Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mensyaratkan sebesar 20% kursi legislatif atau 25% suara sah nasional pada pemilihan umum sebelumnya. Secara teoritis maka akan dapat memunculkan 4 empat calon presiden dan wakil presiden. Permasalahan akan muncul apabila pemilihan umum presiden dan wakil presiden tidak menghasilkan presiden terpilih dalam satu putaran dan pada putaran kedua yang memenangkan pemilihan umum bukan calon yang memenangkan pemilihan pada putaran pertama. Contoh empat pasang calon Presiden dan Wakil Presiden yakni a, b, dan c. Pada putaran pertama menghasilkan komposisi suara A memperoleh 45% suara, b memperoleh 35%, dan c memperoleh 25% suara. Kemudian Fuad Putra Perdana Ginting dan Anwar Saragih, “Ilusi Demokrasi Substansial di Indonesia Sebuah Kritik Terhadap Impementasi Parliamentary Treshlod,” Politeia Jurnal Ilmu Politik 10, no. 2 2018 17. Ramadhan, Muhammad Febry. “Politik Hukum Penyederhanaan Sistem Kepartaian Di Indonesia,” Lex Renaissance 3, no. 1 2018 8. E-ISSN Nomor 2303-0569 Jurnal Kertha Semaya, Vol. 9 No. 1 Tahun 2020, hlm. 131-148 135 berdasarkan ketentuan Pasal 6A ayat 4 pasangan A dan pasangan B akan dipilih kembali dalam pemilihan putaran kedua, dan ternyata dalam putaran kedua B memenangkan pemilihan situasi penggabungan multi partai dalam sistem presidensial akan mempengaruhi hubungan antara Lembaga kepresidenan dan lembaga legislatif dalam pembentukan Undang Undang. Pembentukan Undang Undang sebelum Perubahan Undang Undang Dasar 1945 dalam Pasal 5 ayat 1 menyebutkan bahwa kekuasaan membentuk Undang Undang berada di tangan Presiden dengan persetujuan DPR. Setelah Perubahan UUD 1945 kekuasaan membuat Undang Undang berada di tangan DPR. Perubahan atau pergeseran kekuasaan pembuatan Undang Undang ini merupakan implementasi asas pemisahan kekuasaan dan mengembalikan kekuasaan legislasi ke tangan multi partai adalah salah satu varian dari beberapa sistem kepartaian yang berkembang di dunia modern saat ini. Andrew Heywood berpendapat bahwa sistem partai politik adalah sebuah jaringan dari hubungan dan interakasi antara partai politik di dalam sebuah sistem politik yang mempermudah memahami sistem partai politik Heywood kemudian memberikan kata kunci untuk membedakan tipe-tipe sistem kepartaian. Kata kunci tersebut adalah jumlah partai politik yang tumbuh atau eksis yang mengikuti kompetisi mendapatkan kekuasaan melalui “jumlah partai politik” untuk menentukan tipe sisem partai politik pertama kali dikenalkan dan dipopulerkan oleh Duverger pada tahun 1954 dimana Duverger membedakan tipe sitem politik menjadi 3 sistem, yaitu sistem partai tunggal, sistem dua partai, dan sistem multi partai. Padahal konsep koalisi partai politik Indonesia dalam sistem presidensil memberikan gambaran bahwa kekuasaan presiden dapat terbatas dikarenakan adanya kompromi-kompromi politik antarpartai politik dan Presiden yang tergabung dalam koalisi pemerintah. Koalisi yang dibentuk oleh pemerintah Presiden beserta partai pengusung, dibagi berdasarkan komposisi kursi diparlemen dan dukungan partai selama Pilpres Pemilu Presiden. Hal ini berimbas pada komposisi jumlah menteri di dalam kabinet pemerintah. Pembentukan koalisi diharapakan akan memberikan kestabilan terhadap agenda politik dan kerja presiden dikarenakan dukungan politik di parlemen yang kuat. Dengan demikian, solidnya koalisi dapat didasarkan pada kesamaan tujuan dan agenda politik bersama di antara koalisi partai politik. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah yang akan dijawab di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut Mary Somers Heidhues, “Violent, political, and administrative repression of the Chinese minority in Indonesia, 1945-1998,” Wacana 18, no. 1 2017 19. Mexsasai Indra, “Gagasan Penyederhanaan Jumlah Partai Politik Dihubungkan Dengan Sistem Pemerintahan Republik Indonesia,” Jurnal Ilmu Hukum 1, no. 2 2011 19. Kholis, Nur. “Parliamentary Threshold and Political Rights Limitation,” Journal of Law and Legal Reform 1, no. 3 2020 21. Ginting dan Saragih, “Ilusi Demokrasi Substansial di Indonesia,” 7. Ufen, Andreas. “Party presidentialization in post-Suharto Indonesia,” Contemporary Politics 24, no. 3 2018 17. Robert Lowry, Indonesia From Suharto to Democracy? Canberra, ACT Dept. of Political and Social Change, Research School of …, 2017, 213. E-ISSN Nomor 2303-0569 Jurnal Kertha Semaya, Vol. 9 No. 1 Tahun 2020, hlm. 131-148 136 1. Apakah politik hukum terkait praktik koalisi partai ini dapat mencapai cita-cita hukum seperti representasi akurat dari preferensi pemilih dan pemerintah yang stabil serta bertanggung jawab? 2. Apa upaya dalam praktik ketatanegaraan yang dapat merealisasikan stabilitas sistem pemerintahan presidensial pada koalisi di multi partai? Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan penelitian ini adalah untuk mengetahui politik hukum terkait praktik koalisi partai politik di Indonesia serta untuk mengetahui upaya-upaya dalam praktik ketatanegaraan yang dapat merealisasikan stabilitas sistem pemerintahan presidensial pada koalisi di multi partai 2. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang dilakukan menggunakan penelitian kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder dengan bahan atau materi berupa buku-buku, artikel-artikel, hasil-hasil penelitian, dan pendapat ahli yang berkaitan dengan praktik koalisi partai politik di Indonesia. Pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen dan literatur-literatur yang berkaitan dengan tema penelitian untuk mendapatkan data berkaitan dengan dengan praktik koalisi partai politik di Indonesia dengan, Pertama, bahan primer, yang mencakup peraturan perundang-undangan yang berlaku, yurisprudensi yang berkaitan dengan pokok permasalahan penelitian. Kedua bahan sekunder, terdiri dari hasil-hasil penelitian yang telah ada sebelumnya yang terkait dengan permasalahan penelitian dan kepustakaan. Berdasarkan data dan informasi yang sudah diperoleh, akan dilakukan analisis kualitatif yakni suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang ditemukan dalam praktek dan literatur diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. 3. Hasil dan Pembahasan Politik Hukum Koalisi Partai Politik di Indonesia Sistem Presidensial dalam Sistem Multi Partai Sistem pemerintahan presidensial yang berada di dalam suatu negara heterogen dengan multipartai menjadi sangat tidak efektif. Hal ini terjadi karena polarisasi masyarakat yang dimanifestasikan dalam parlemen, menjadikan sebuah parlemen yang bersifat cair, mudah berubah dan sangat praktik ini sangat berlawanan dengan hakikat kekuasaan eksekutif pemerintahan presidensial yang bersifat rigid. Rigiditas eksekutif ini tercermin dengan masa jabatan fixed term dan Presiden yang tidak dapat dijatuhkan oleh legislatif., akan membuat frustasi rakyat yang harus menunggu sampai masa jabatan Presiden berakhir baru kemudian memilih kembali Presiden dalam pemilihan umum. Dalam pemerintahan presidensial pemilihan umum dilaksanakan dua kali, yakni pemilihan anggota legislatif dan pemilihan Presiden. Presiden memegang kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan, sehingga pemilihan umum Presiden menjadi sangat penting yang menentukan arah kebijakan negara. Dalam sistem ini, partai politik dalam pemilihan umum di pemerintahan presidensial lebih bersifat Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati Gramedia Pustaka Utama, 2013, 119. Surbakti, R. dan Nugroho, K. “Studi Tentang Desain Kelembagaan Pemilu yang Efektif,” 2015, 19. E-ISSN Nomor 2303-0569 Jurnal Kertha Semaya, Vol. 9 No. 1 Tahun 2020, hlm. 131-148 137 sebagai penopang atau pendukung bagi program calon presiden yang didukungnya. Dengan demikian partai politik cenderung menjadi kendaraan politik untuk memperoleh kedudukan atau jabatan politik. Selain itu, popularitas calon presiden menjadi faktor terpenting dalam model pemilihan umum ini dibandingkan dengan program partai dapat dipungkiri, banyak sekali ditemukan kelemahan dalam partai politik di Indonesia, terutama terhadap kurangnya kemampuan untuk membangun kapasitas dan integritas kelembagaan. Paling tidak ada empat hal yang menyebabkan hal tersebut. Pertama, proses rekrutmen anggota partai maupun pimpinan partai, khususnya di tingkat bawah tidak diatur secara utuh dan sistematis. Kedua, tidak ada aturan yang komprehensif yang mengatur seorang anggota baru untuk bisa duduk di dalam jajaran fungsionaris dan struktur partai. Ketiga, mekanisme komunikasi antara kader partai dan anggota parlemen dengan konstituennya atau rakyat untuk memahami aspirasi yang berkembang di masyarakatnya tidak cukup diatur dan tidak dilakukan. Keempat, proses pengkaderan partai yang dilakukan secara berjenjang untuk memahami ideologi dan program strategis partai serta peningkatan kemampuan kepemimpinan dilakukan tidak serius dan sistem pemerintahan presidensial dengan multipartai, dengan tidak ada partai politik yang memperoleh suara mayoritas dalam pemilihan umum. Maka dalam pembentukan kabinet Presiden harus mempertimbangkan keikutsertaan partai politik lain dalam suatu koalisi. Akan tetapi koalisi ini tidak bersifat permanen karena menteri bertanggungjawab langsung kepada Presiden dan tidak kepada parlemen. Oleh karena itu partai politik dalam parlemen tidak mempunyai kewajiban untuk mendukung pemerintah, meskipun memiliki wakil di kabinet. Dua pemilihan umum dalam sistem presidensial merupakan pemilihan umum yang terpisah dan tidak berkaitan sama sekali, sehingga dalam sistem ini sangat dimungkinkan munculnya presiden yang dicalonkan oleh partai politik yang memperoleh kursi minoritas di lembaga perwakilan, hal seperti itu sangat mungkin terjadi dalam sistem multipartai. Oleh karena pemilihan umum yang dilaksanakan secara terpisah dan presiden terpilih belum tentu memperoleh dukungan politik dari legislatif. Sehingga hal ini memungkinkan terjadinya deadlock dalam persidangan dan pelaksanaan tugas-tugas ketatanegaraan yang mengakibatkan terjadinya ketegangan antara presiden dengan legislatif. Dualisme legitimasi politik ini akan sangat berpengaruh dalam sistem multipartai, dimana konflik antara presiden dengan lembaga perwakilan merupakan masalah kebijakan politik presiden yang tidak diterima oleh lembaga secara politis kedua lembaga ini dipilih langsung oleh rakyat, maka dikhawatirkan yang muncul adalah politik pengerahan massa untuk memperlemah kedudukan politik lembaga negara berskaitan dengan lembaga mana yang lebih Isra, Saldi. “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematik Koalisi Dalam Sistem Presidensial,” Jurnal Konstitusi, 2009, 19. Romli, Lili. “Koalisi dan Konflik Internal Partai Politik pada Era Reformasi,” Jurnal Politica Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri dan Hubungan Internasional 8, no. 2 2018 14. Mulyosudarmo, S. Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, Editor; A. Mukti Fajar dan Harjono, Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur dan In-TRANS, Cetakan Pertama, Bandung, Pebruari 2004, 4. Hendra Sunandar, “Analisis sistem presidensialisme-multipartai di Indonesia studi atas divided government dalam relasi eksekutif-legislatif pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla,” 2015, 41. E-ISSN Nomor 2303-0569 Jurnal Kertha Semaya, Vol. 9 No. 1 Tahun 2020, hlm. 131-148 138 memiliki hak guna menyuarakan suara rakyat. Kondisi deadlock dalam sistem presidensial akan semakin rumit karena presiden memiliki masa jabatan yang pasti fixed term yang dilindungi oleh konstitusi serta lembaga legislatif juga tidak dapat dibubarkan untuk segera diselenggarakan pemilihan situasi penggabungan multi partai dalam sistem presidensial akan mempengaruhi hubungan antara Lembaga kepresidenan dan lembaga legislatif dalam pembentukan Undang Undang. Pembentukan Undang Undang sebelum Perubahan Undang Undang Dasar 1945 dalam Pasal 5 ayat 1 menyebutkan bahwa kekuasaan membentuk Undang Undang berada di tangan Presiden dengan persetujuan DPR. Setelah Perubahan UUD 1945 kekuasaan membuat Undang Undang berada di tangan DPR. Perubahan atau pergeseran kekuasaan pembuatan Undang Undang ini merupakan implementasi asas pemisahan kekuasaan dan mengembalikan kekuasaan legislasi ke tangan DPR. Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 tersebut tidak memberikan hak veto bagi Presiden untuk menolak sebuah rancangan Undang Undang yang telah disetujui. Padahal dalam sistem presidensial setiap kekuasaan memiliki mekanisme checks and balances untuk mencegah terjadinya dominasi kekuasaan di tangan satu lembaga bersama dalam pembahasan Rancangan Undang Undang tidak dapat dijadikan acuan bahwa presiden juga menyetujui Rancangan Undang Undang tersebut, hal ini karena praktik pemerintahan di negara modern tidak memungkinkan presiden untuk melakukan pembahasan Rancangan Undang Undang bersama DPR secara langsung akan tetapi presiden mendelegasikannya kepada bawahannya dalam hal ini adalah menteri yang membidangi Rancangan Undang Undang tersebut. Persetujuan pemerintah dalam pembahasan Rancangan Undang Undang yang diwakili oleh menteri seharusnya disetujui terlebih dahulu oleh presiden sebelum diundangkan, karena Presiden dalam sistem pemerintahan presidensial merupakan pejabat yang bertanggungjawab kepada rakyat terhadap kebijakan yang diambil kabinetnya, karena menteri bertanggungjawab langsung kepada presiden. Hubungan yang tercipta antara Presiden dengan DPR menurut Syamsuddin Haris merupakan hubungan yang bersifat politik-transaksional, hal ini dikarenakan dukungan riil politik presiden di parlemen merupakan minoritas dan fragmentasi partai politik di parlemen yang karena itu untuk memperoleh dukungan parlemen Presiden harus membuka ruang kompromi yang besar dengan kepentingan-kepentingan tersebut. Hal ini disinyalir menjadikan produk legislasi Presiden dan DPR banyak memiliki kelemahan karena sarat dengan kepentingan sesaat hasil dari kompromi yang luas. Hal ini paling tidak dapat dilihat dari banyaknya gugatan judicial review materi Undang Undang yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Undang Undang merupakan produk yang menjelmakan secara normatif kehendak politik DPR dengan pemerintah. Karena itu masuknya pertimbangan atau kepentingan politik merupakan I. Gede DE Adi Atma Dewantara dan Dewa Gde Rudy, “Implikasi Hukum Koalisi Partai Politik dalam Membentuk Pemerintahan yang Efektif,” Kertha Negara Journal Ilmu Hukum, 81. Zuhdi Arman, “Tinjauan Terhadap Sistem Multi Partai Dalam Sistem Pemerintahan Presidensial Di Indonesia Pada Era Reformasi,” Jurnal Cahaya Keadilan 6, no. 1 2018 18. Imam Yudhi Prasetya, “Pergeseran Peran Ideologi Dalam Partai Politik,” Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan 1, no. 1 2011 24. Bagir Manan, Dpr, Dpd, Dan Mpr Dalam Uud 1945 Baru FH-Uii Press, 2003, 24. E-ISSN Nomor 2303-0569 Jurnal Kertha Semaya, Vol. 9 No. 1 Tahun 2020, hlm. 131-148 139 sesuatu yang wajar. Akan tetapi masuknya kepentingan politik ini seharusnya tidak sampai menjadikannya sebagai suatu UU just for the sake menganut sistem multi partai. Indonesia menerapkan secara bersama-sama sistem multipartai dan sistem pemilihan umum proportional representation yang berakibat sulitnya memperoleh suara mayoritas di parlemen dan majority government. Keadaan demikian mengakibatkan lahirnya koalisi partai yang terjadi di Indonesia dewasa ini. Sistem multipartai dengan jumlah partai sangat banyak perlu segera di dorong menjadi multipartai sederhana, terutama jumlah partai di parlemen. Multipartai dengan jumlah partai yang banyak perlu perubahan secara institusional menjadi sistem multipartai sederhana sehingga implikasi dalam penggabunga multi partai di tengah sistem presidensial dapat diredam. Implikasi Penerapan Sistem Multipartai dalam Sistem Presidensial di Indonesia Dalam perubahan Undang Undang Dasar 1945 mengenai pembentukan Dalam perubahan Undang Undang Dasar 1945 mengenai pembentukan Undang Undang ini diatur dalam Pasal 20 yang berbunyi sebagai berikut ini diatur dalam Pasal 20 yang berbunyi sebagai berikut a. Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang- undang; b. Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama; c. Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu; d. Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang; e. Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Kemudian dalam ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 5 ayat 1 menyebutkan bahwa Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR. Dari ketentuan ini dan ketentuan pasal 20 di atas dapat diketahui bahwa terdapat pergeseran kekuasaan membentuk Undang Undang dari tangan Presiden ke tangan DPR. Permasalahannya adalah dalam perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 tersebut tidak adanya hak veto bagi Presiden untuk menolak sebuah rancangan Undang Undang yang telah disetujui. Padahal dalam sistem presidensial setiap kekuasaan memiliki mekanisme check and balances untuk mencegah terjadinya dominasi kekuasaan di tangan satu lembaga negara. Persetujuan bersama dalam pembahasan Rancangan Undang Undang tidak dapat dijadikan acuan bahwa presiden juga menyetujui Rancangan Undang Undang tersebut, hal ini karena praktek pemerintahan di negara modern tidak memungkinkan presiden untuk melakukan pembahasan Rancangan Undang Undang bersama DPR secara langsung akan tetapi presiden mendelegasikannya kepada bawahannya dalam hal ini adalah menteri yang membidangi Rancangan Undang Undang tersebut. Persetujuan Manan, Bagir. 27–28. E-ISSN Nomor 2303-0569 Jurnal Kertha Semaya, Vol. 9 No. 1 Tahun 2020, hlm. 131-148 140 pemerintah dalam pembahasan Rancangan Undang Undang yang diwakili oleh menteri seharusnya disetujui terlebih dahulu oleh presiden sebelum diundangkan, karena Presiden dalam sistem pemerintahan presidensial merupakan pejabat yang bertanggungjawab kepada rakyat terhadap kebijakan yang diambil kabinetnya, karena menteri bertanggungjawab langsung kepada presiden. Hubungan yang tercipta antara Presiden dengan DPR menurut Syamsuddin Haris merupakan hubungan yang bersifat politik-transaksional, hal ini dikarenakan dukungan riil politik presiden di parlemen merupakan minoritas dan fragmentasi partai politik di parlemen yang lebar. Oleh karena itu untuk memperoleh dukungan parlemen Presiden harus membuka ruang kompromi yang besar dengan kepentingan-kepentingan tersebut. Hal ini disinyalir menjadikan produk legislasi Presiden dan DPR banyak memiliki kelemahan karena sarat dengan kepentingan sesaat hasil dari kompromi yang luas. Hal ini paling tidak dapat dilihat dari banyaknya gugatan judicial review materi Undang Undang yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Undang Undang merupakan produk yang menjelmakan secara normatif kehendak politik DPR dengan pemerintah. Karena itu masuknya pertimbangan atau kepentingan politik merupakan sesuatu yang wajar. Akan tetapi masuknya kepentingan politik ini seharusnya tidak sampai menjadikannya sebagai suatu undang-undang yang bermuatan kepentingan politik. Indonesia menganut sistem multi partai. Indonesia menerapkan secara bersama-sama sistem multipartai dan sistem pemilihan umum proportional representation yang berakibat sulitnya memperoleh suara mayoritas di parlemen dan majority government. Keadaan demikian mengakibatkan lahirnya koalisi partai yang terjadi di Indonesia dewasa ini. Sistem multipartai dengan jumlah partai sangat banyak perlu segera di dorong menjadi multipartai sederhana, terutama jumlah partai di parlemen. Multipartai dengan jumlah partai yang banyak perlu perubahan secara institusional menjadi sistem multipartai sederhana sehingga implikasi dalam penggabunga multi partai di tengah sistem presidensial dapat diredam. Terdapat 3 tiga cara yang harus dilakukan meredam implikasi yang terjadi di tengah sistem Multi Partaidalam sistem presidensial, yaitu Pertama, Penyederhanaan partai politik perlu dilakukan karena sistem multi partai dalam pemilu di Indonesia telah berkonsekuensi membludaknya partai politik yang ingin mengikuti pemilu. Dengan mereformasi sistem pemilu, penyederhanaan jumlah partai politik dapat ditempuh melalui beberapa agenda rekayasa institusional institutional engineering, antara lain menerapkan sistem pemilu distrik plurality/majority system atau sistem campuran mixed member proportional, memperkecil besaran daerah pemilihan distric magnitude, menerapkan ambang batas kursi di parlemen parliamentary threshold secara konsisten, dan menggabungkan pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden. Indonesia telah menerapkan 2 dua alternative guna penyederhanaan partai politk dengan menerapkan ambang batas kursi di parlemen parliamentary threshold secara konsisten, dan menggabungkan pelaksanaan pemilihan legislatif dan pemilihan Presiden. Kedua, Desain pelembagaan koalisi. Pada era Reformasi, kecenderungan koalisi partai dalam kehidupan politik Indonesia mulai terbangun pasca-Pemilu 1999, yaitu dalam pemilihan presiden dan wakil presiden oleh MPR. Koalisi dalam bentuk Poros Tengah, yang dimotori PAN dan PPP berhasil menaikkan Abdurahman Wahid sebagai presiden pertama era Reformasi. Dalam sistem E-ISSN Nomor 2303-0569 Jurnal Kertha Semaya, Vol. 9 No. 1 Tahun 2020, hlm. 131-148 141 pemerintahan presidensial yang multipartai, koalisi adalah suatu hal yang tidak bisa ditawar tawar untuk membentuk pemerintahan yang kuat. Kareana dalam sistem presidensial yang berpadu dengan multipartai meniscayakan terbentuknya koalisi antar partai dalam mengusung calon presiden karena hampir dapat dipastikan bahwa sistem multipartai sulit menghasilkan partai yang memenangkan suara mayoritas. Ketiga, Pengaturan pelembagaan terhadap partai politik yang memilih menjadi oposisi perlu dilakukan, guna menjadi penyeimbnag dalam jalannya pemerintahan. Istilah oposisi telah menjadi bagian dalam wacana politik di Indonesia sejak dimulainya era presidensialisme multipartai. Tetapi istilah ini tampaknya dipahami secara beragam. Sebagian pengamat politik sering menghubungkan oposisi dengan sistem parlementer sehingga menganggapnya asing bagi sistem presidensial. Dengan adanya partai oposisi, akan bisa dihindari praktek-prakteik politik yang bersekongkol antara pemerintah dan para anggota legistatif dan praktek politik uang atau suap untuk mengegolkan kebijakan pemerintah kecil kemungkinan bisa dilakukan. Cita Hukum Indonesia dan Upaya Merealisasikan Stabilitas Sistem Pemerintahan Presidensial pada Koalisi Multi Partai Secara konstitusional, Negara Republik Indonesia menganut sistem Presidensial yang berarti bahwa pemegang kendali dan penanggung jawab jalannya pemerintahan negara kepala eksekutif adalah Presiden. Sistem presidensial di Indonesia dikombinasikan dengan sistem multipartai di Indonesia merupakan implementasi tuntutan reformasi terhadap kebebasan berpartai atau mendirikan partai politik. Pasal 6A ayat 2 UUD NRI 1945 menyatakan “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.” Ketentuan lain yang secara eksplisit mengatur koalisi terdapat dalam Pasal 8 ayat 3 UUD NRI Tahun 1945 menyatakan “Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, Pelaksana Tugas Kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat- lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang paket calon Presiden dan Wakil Presidennya rneraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan sebelumnya, sampai habis masa jabatannya.” Berdasarkan ketetntuan di atas, konstitusi menghendaki koalisi partai politik yang terjadi sebelum pemilihan pre-electoral coalition seperti yang terdapat dalam Pasal 6A ayat 2 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berlangsung secara permanen sepanjang jalannya pemerintahan hasil pemilihan umum. Alasannya, kondisi yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat 3, kekosongan jabatan presiden dan wakil presiden secara bersamaan, dapat terjadi kapan saja sepanjang berjalannya pemerintahan hasil pemilihan umum. Melihat karakter sistem Sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 ayat 1 UUD NRI 1945. Sedangkan menteri hanyalah sebagai pembantu Presiden. E-ISSN Nomor 2303-0569 Jurnal Kertha Semaya, Vol. 9 No. 1 Tahun 2020, hlm. 131-148 142 pemerintahan presidensil, ketentuan dalam konstitusi tersebut nampak memiliki masalah. Koalisi pemerintahan government coalition dalam sistem presidensil memiliki potensi perubahan cukup tinggi dan perubahan dalam koalisi bukan berarti pergantian kekuasaan eksekutif. Kekuasaan eksekutif di sistem presidensil sumber legitimasinya bukan dari parlemen tetapi memiliki legitimasi langsung dari rakyat. Oleh karena itu, koalisi yang terbentuk sebelum pemilihan presiden pre-electoral coalition sebagaimana dimaksud Pasal 6A ayat 2 bisa berubah sehingga berbeda dengan komposisi koalisi yang memerintah government coalition. Dalam perjalanan pemerintahan komposisi koalisi dapat terus berubah sehingga jika terjadi kondisi sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat 3 maka koalisi yang yang terjadi berdasar Pasal 6A ayat 2 bisa jadi sudah benar-benar berbeda. Dalam kondisi demikian maka akan sulit melaksanakan ketentuan dalam Pasal 8 ayat 3 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kombinasi antara sistem presidensil dengan sistem multipartai banyak menghadirkan persoalan karena anggota lembaga legislatif dan presiden dipilih secara langsung oleh rakyat pemilih. Seringkali kombinasi antara kedua sistem tersebut dapat menyebabkan disharmonisasi atau terjadi ketidakselarasan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif yang bisa mengarah pada kebuntuan antar kedua lembaga tersebut apabila yang menguasai lembaga kepresidenan dan yang menguasai parlemen dari partai yang berbeda. Salah satu kelemahan sistem presidensial yang multipartai dalam hal ini adalah ketegangan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Seringkali presiden tidak dapat menyelesaikan agenda agendanya akibat kurangnya dukungan dalam parlemen dan banyaknya intrupsi atas usulan usulan presiden baik yang bersifat legislasi maupun non legislasi. Dalam sistem presidensil, koalisi sebagai cara pembentukan dan pengelolaan pemerintahan lazimnya tidak terinstitusionalisasi dalam kerangka hukum. Koalisi dianggap sebagai mekanisme politik yang terjadi sebagai akibat dari proses tawar menawar atau negosiasi dalam rangka upaya memenangkan pemilihan umum pre-electoral coalition dan dalam rangka pengelolaan pemerintahan yang stabil terutama ketika pemerintah berhadapan dengan lembaga legislatif government coalition. Namun, sistem presidensil Indonesia nampak memberi tempat koalisi dalam aturan konstitusinya. Pemilihan presiden langsung yang menjadi salah satu ciri penting sistem presidensil yang dianut Indonesia menyatakan bahwa proses pencalonannya dapat dilakukan oleh koalisi partai politik Dengan situasi seperti itu, banyak kalangan meragukan kelangsungan dan stabilitas pemerintah dalam sistem presidensial yang multipartai. Misalnya. Jose A. Cheibub, Adam Przeworzki, dan Sebastian M. Saiegh dalam tulisan “Government Coalitions and Legislative Success Under Presidentialism and Parliamentarism” mencatat banyak pendapat yang meragukan kelangsungan dan stabilitas pemerintahan presidensil dalam sistem Undang-Undang Dasar 1945 menimbulkan implikasi yang cukup mendasar terhadap ketatanegaraan Indonesia, tidak saja terhadap pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat, struktur, kedudukan dan hubungan antar lembaga- lembaga atau organ-organ negara, tetapi juga terhadap sistem pemerintahannya. Terkait sistem pemerintahan, yang menjadi tuntutan dari reformasi tersebut adalah mempertegas José Antonio Cheibub, Adam Przeworski, dan Sebastian M. Saiegh, “Government coalitions and legislative success under presidentialism and parliamentarism,” british Journal of political science 34, no. 4 2004 565–566. E-ISSN Nomor 2303-0569 Jurnal Kertha Semaya, Vol. 9 No. 1 Tahun 2020, hlm. 131-148 143 sistem pemerintahan presidensil didalam Undang-Undang Dasar 1945 dan mewujudkan kerangka mekanisme check and balances, khususnya diantara lembaga legislatif dan eksekutif. Mempertegas dalam hal ini juga meliputi penyempurnaan sistem penyelenggaraan pemerintahan agar benar-benar memenuhi prinsip dasar sistem presidensial. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 koalisi partai politik ikut andil dalam mempengaruhi sistem presidensial Indonesia, elemen utama dalam sistem checks and balances adalah kejelasan langsung peranan presiden dalam proses legislasi. Namun, setelah diamandennya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 persoalan tidak kunjung berhenti, perdebatan terus berlangsung baik itu diantara para akademisi, ahli tata negara maupun para politisi. Salah satu Persoalan yang muncul sampai hari ini adalah terkait dengan dibentuknya koalisi partai politik dalam pemerintahan pada saat pergantian era kepresidenan. Pembentukan koalisi dikarenakan tidak adanya partai politik yang mendominasi jumlah perolehan suara. Koalisi bertujuan guna mencalonkan calon Presiden dan wakil presiden, serta menjaga stabilitas pemerinthan. Koalisi yang awalnya memang fitur dalam sistem parlementer yang terjadi apabila dalam hasil pemilihan umum menujukkan tidak adanya partai politik yang mendapat mayoritas suara. Perbedaan koalisi antara kedua sistem pemerintahan tersebut diantaranya, kedudukan presiden yang tidak bergantung pada mayoritas legislatif legislative majority membuat presiden bebas membentuk dan mengganti koalisi sekehendaknya dan perubahan tersebut tanpa adanya perubahan kekuasaan, Partai pembentuk koalisi di sistem parlementer belum dapat segera dipastikan dengan melihat hasil pemilihan umum sedangkan di sistem presidensil, partai pengusung presiden dapat dipastikan sebagai pembentuk koalisi. Dalam sistem parlementer, partai politik pemenang pemilihan umum memang lazimnya bertindak sebagai formatur pembentuk kabinet namun tetap memiliki potensi gagal sehingga digantikan partai terbanyak berikutnya dan begitu seterusnya. Dengan kontruksi seperti itu maka ada kemungkinan partai terbesar malah bukanlah peserta koalisi pemerintahan yang akhirnya terbentuk karena formatur pembentuk kabinet dapat mengecualikan partai manapun termasuk partai terbesar. Sedangkan di dalam sistem presidensil, partai pengusung presiden selalu ikut dalam koalisi pemerintahan, di sistem parlementer, jika koalisi pemerintahan gagal terbentuk maka akan terjadi krisis pemerintahan yang dapat berakibat terjadinya percepatan pemilihan umum atau dalam situasi tertentu sistem ini dapat menerima pemerintahan yang terdiri dari para orang- orang non partisan yang bertindak sebagai pengganti pemerintahan caretaker government. Di sistem presidensil tidak dikenal percepatan pemilihan umum baik untuk pemilihan anggota legislatif maupun untuk pemilihan presiden. Jika tidak ada koalisi yang terbentuk maka partai presiden akan mengambil semua jabatan dalam kabinet atau mendistribusikan 1999 merupakan pemilu pertama pasca reformasi. Kebebasan berpartai politik ini terekspresi dengan banyaknya jumlah partai politik, ada 180 partai baru berdiri, meskipun hanya 142 partai yang dapat didaftarkan, dan hanya 48 yang lolos E-ISSN Nomor 2303-0569 Jurnal Kertha Semaya, Vol. 9 No. 1 Tahun 2020, hlm. 131-148 144 penyaringan dan ikut bertarung dalam pemilu 1999. Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004 dimana, dalam pemilihan presiden, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono Jusuf Kalla SBY-JK mendapat dukungan suara sah dan pasangan Megawati Soekarnoputri Hasyim Muzadi memperoleh 39, 38% suara sah secara nasional. Jika hasil itu diletakkan di tingkat provinsi, SBY-JK unggul di 28 provinsi atau 88% dan pasangan Mega-Hasyim hanya mampu menguasai 4 provinsi atau 12% dari jumlah provinsi yangada, akan tetapi pasanagan SBY-JK hanya mendapatkan 12% suara di DPR. Hingga era Presiden Joko Widodo pada Pemilihan Umum 2014 yang diikuti oleh calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto- Hatta didukung oleh oleh 6 enam partai politik dan pasangan kedua yaitu pasanagan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang didukung oleh koalisi 5 lima partai politik. Pemilihan Presiden 2014 dimenangkan oleh pasanagan Joko Widodo dengan perolehan suara sedangkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa meraih suara akan tetapi dalam pemilu legislatif Joko Widodo-Juduf Kalla hanaya mendapatkan 36,46% suara di dewan Perwakilan Rakyat. Berbagai pandangan telah muncul sejak dibentuknya koalisi kabinet pemerintahan pada era Susilo Bambang Yudhoyono hingga era Presiden Joko Widodo dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan presidensial yang dianut dalam konstitusi Negara Republik Indonesia. Hal ini disebabkan perubahan peta koalisi partai yang sebelumnya menjadi oposisi pada perkembanganya kemudian bergabung dengan pemerintahan setelah usainya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Setelah memenangi pemilihan umu 2004 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Kabinet Indonesia Bersatu, koalisi membesar dengan melibatkan Partai Golkar, Partai Amanat Nasional PAN, Partai Persatuan Pembangunan PPP, Partai Kebangkitan Bangsa PKB, Partai Bintang Reformasi PBR, dan Partai Pelopor. Keberhasilan Jusuf Kalla merebut kursi Ketua Umum Golkar di awal 2005, memperkuat koalisi ini membentuk Kabinet Indonesia Bersatu, koalisi membesar dengan melibatkan Partai Golkar, Partai Amanat Nasional PAN, Partai Persatuan Pembangunan PPP, Partai Kebangkitan Bangsa PKB, Partai Bintang Reformasi PBR, dan Partai Pelopor. Keberhasilan Jusuf Kalla merebut kursi Ketua Umum Golkar di awal 2005, memperkuat koalisi ini. Pemerintah pun punya dukungan yang besar dan kuat dalam lembaga legislatif. Kesepuluh partai yang terwakili dalam Kabinet menguasai 420 76,4% kursi DPR. Sementara Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan PDI-P dan lima partai kecil lain, yang berada di luar pemerintahan, hanya menguasai 130 23,6% kursi DPR. Koalisi terbentuk sejauh ini tidak bersifat tidak permanen bahkan cenderung berdampak disharmonisasi atau ketidakselarasan hubungan antara eksekutif dengan legislatif. Bahkan terjadi partai politik yang mendukung pemerintahan tidak selalu mendukung kebijakan kebijkan atau undang undang yang dirancanag pemerintah. Contoh persoalan yang terjadi pada Presiden Susilo Bambang YudhoyonoJusuf Kalla Beverly Evangelista, “Coalition Existence in Presidential System in Indonesia According to the Constitution of Republic of Indonesia 1945,” Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan 2, no. 2 2014 17. Haris, S. Konflik presiden-DPR dan dilema transisi demokrasi di Indonesia Grafiti, 2007, 69. Romli, Lili. Op. Cit., 2. Ufen, Andreas. 6. E-ISSN Nomor 2303-0569 Jurnal Kertha Semaya, Vol. 9 No. 1 Tahun 2020, hlm. 131-148 145 yaitu keretakan koalisi terkait kasus bailout Bank Century, yang melibatkan kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Fraksi Partai Golongan Karya dalam hak angket Bank proaktif agar kasus Bank Century diungkap tuntas. Demikian halnya kubu PKS dan PAN. Ketua umum partai Golkar Aburizal Bakrie memerintahkan anggotanya di DPR yang ikut dalam Pansus Hak Angket Bank Century untuk segera mengusut tun- tas dalam mendapatkan penyelesaian yang kongrit dan transparan. Ini menunjukkan bahwa, koalisi yang dibangun SBY dan partai Demokrat dengan partai-partai anggota koalisi retak dan mengalami yang dilakukan kedua Presiden tersebut dalam sistem Presidensial saat ini adalah bentuk dari usaha mendapatakan dukungan mayoritas di Dewan Perwakilan Rakyat dari para anggota koalaisi yang baru masuk untuk mendapat dukungan mayoritas guna mendukung kebijakan-kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah. Bila mencermati koalisi yang terbentuk pada era reformasi cenderung bersifat office seeking atau didorong oleh hasrat untuk mendapatkan kekuasaan baik di eksekutif ataupun legislatif, bukan berdasarkan kesamaan program atau platform dari masing masing partai politik dalam membangun koalisi. Hal itu terlihat nyata secara kasat mata bahwa partai yang bergabung dengan koalisi pemerintah bertujuan untuk mencari posisi jabatan ataupun menteri kabinet dalam pemerintahan, dengan kata lain koalisi partai politik yang terbentuk pada era reformasi cenderung instan karena lebih berdasarkan kepentingan politik jangka pendek dan belum berdasarkan kesamaan program politik. Kehendak konstitusi agar koalisi atau gabungan partai politik yang terbentuk pada pemilihan umum berjangka panjang dan stabil juga diperkuat oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap perkara Nomor 14/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa desain Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menghendaki sistem pemilihan presiden harus mendukung penguatan sistem pemerintahan presidensil, oleh karena itu koalisi yang tercipta dalam pemilihan presiden seharusnya stabil dan berjangka panjang. Kondisi yang terjadi saat ini dalam praktek menurut Mahkamah Konstitusi belum seperti yang dikehendaki konstitusi. Dalam pertimbangan hukumnya di putusan tersebut Mahkamah Konstitusi. Dalam praktiknya koalisi yang cenderung rapuh dan diwarnai konflik internal adalah harga politik yang harus dibayar oleh Presiden Yudhoyono yang terlanjur membentuk koalisi yang semu dan mudah rapuh serta tanpa kesamaan ideologis di satu pihak. Ironisnya, keterlanjuran dan kesalahan membentuk koalisi yang dilakukan Presiden Yudhoyono pada 2004 terus berlanjut pada era Presiden Joko Widodo Jusuf Kalla pada 2014. Penggalanagan koalisi yang dilakukan yang ditengarai sebagai upaya untuk menguatkan sisitem Presidensial, dimana Presiden dan menteri kabinet bisa mengambil keputusan politik tanpa harus bernegosiasi panjanag dengan parlemen, kenyataannya itu tidak terlaksana dengan baik. Fakta tetap menunjukkan koalisi yang dibangun memang besar dan menghimpun banyak kekuatan politik. Namun, kebesaran koalisi ini tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena terjadi pasang surut hubungan di kalangan partai koalisi dan isu resaffle atau pergantian kursi menteri digunakan sebagai alat untuk mengancam anggota koalisi manakala Ramadhan, Muhammad Febry. 11. Hamudy, Moh Ilham A., dan M. Saidi Rifki. 14. E-ISSN Nomor 2303-0569 Jurnal Kertha Semaya, Vol. 9 No. 1 Tahun 2020, hlm. 131-148 146 terjadi anggota koalisi membelot terhadap kesepakatan koalisi. Hal ini tentu akan menghambat efektifitas Chack And Balances dalam penyelenggaraan pemerintahan. 4. Kesimpulan Penerapan sistem presidensial dengan sistem multi partai akan menimbulkan tidak adanya partai politik yang memperoleh suara mayoritas dalam pemilihan umum. Partai politik perlu membentuk koalisi seperti amanat Undang Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dan Presiden terpilih harus membentuk koalisi guna menjalakan pemerintahan yang stabil. Akan tetapi koalisi yang tidak permanen dan tidak membuat menteri bertanggung jawab pada parlemen yang mengakibatkan partai politik dalam parlemen tidak mempunyai kewajiban untuk mendukung pemerintah, meskipun memiliki wakil di kabinet. Kondisi ini dalam hal hubungan antara Presiden dan DPR mempunyai kemungkinan besar terjadinya deadlock. Terjadinya deadlock berakibat pada krisis politik, krisis politik dalam sistem presidensial sangat rumit, karena Presiden tidak dapat dijatuhkan, akan tetapi Presiden sangat membutuhkan DPR untuk menjalankan programnya. Praktik koalisi memang dilegalkan sebagaimana penjelasan pasal 6A ayat 2 UUD 1945. Pembentukan koalisi dalam sistem presidensial yang bersamaan diterapkan dengan multi partai akan mempengaruhi stabilitas pemerintahan karena pemerintahan perlu membentuk koalisi guna menjalankan program pemerintah. Koalisi yang dibangun dalam sistem presidensial tidak permanen dan tidak terinstitusionalisasi membuat koalisi rapuh dan sering terjadi konflik internal karena tidak adanya kesamaan platform diantara anggota koalisi. Koalisi semacam ini tidak dapat membuat pemerintahan yang stabil dikarenakan anggota koalisi tidak selalu mendukung kebijakan pemerintah baik legislasi maupun non legislasi. Adapun saran yang diberikan dalam penelitian ini yaitu UUD 1945 hasil perubahan yang menguatkan sistem pemerintahan presidensial murni perlu diamandemen lagi untuk menciptakan sistem pemerintahan yang mengakomodir sistem kepartaian multipartai. Amandemen ini berkaitan dengan kedudukan dan kewenangan serta hubungan kerja antar lembaga negara untuk menciptakan sistem pemerintahan yang kuat, efektif, dan efisien serta sesuai dengan realitas masyarakat Indonesia. Sistem kepartaian multipartai merupakan keharusan bagi negara pluralis seperti Indonesia, akan tetapi partai politik peserta pemilu yang berjumlah puluhan akan mempersulit terbentuknya pemerintahan yang kuat, efektif, dan efisien. Jumlah partai politik perlu dibatasi melalui pengaturan peraturan perundang- undangan dengan memperketat seleksi partai politik peserta pemilihan umum dan memperberat persyaratan pembentukan partai politik. DAFTAR PUSTAKA Buku AR, Hanta Yuda. Presidensialisme Setengah Hati. Gramedia Pustaka Utama, 2013. Haris, Syamsuddin. Konflik presiden-DPR dan dilema transisi demokrasi di Indonesia. Grafiti, 2007. Manan, Bagir. Dpr, Dpd, Dan Mpr Dalam Uud 1945 Baru. FH-Uii Press, 2003. E-ISSN Nomor 2303-0569 Jurnal Kertha Semaya, Vol. 9 No. 1 Tahun 2020, hlm. 131-148 147 Jurnal Arman, Zuhdi. “Tinjauan Terhadap Sistem Multi Partai Dalam Sistem Pemerintahan Presidensial Di Indonesia Pada Era Reformasi.” Jurnal Cahaya Keadilan 6, no. 1 2018 23–40. Busroh, Firman Freaddy. “Reformulasi Penerapan Electoral Threshold dalam Sistem Kepartaian di Indonesia.” Jamal Lex Librum 3, no. 2 2017 513–524. Cheibub, José Antonio, Adam Przeworski, dan Sebastian M. Saiegh. “Government coalitions and legislative success under presidentialism and parliamentarism.” british Journal of political science 34, no. 4 2004 565–587. Dewantara, I. Gede DE Adi Atma, dan Dewa Gde Rudy. “Implikasi Hukum Koalisi Partai Politik dalam Membentuk Pemerintahan yang Efektif.” Kertha Negara Journal Ilmu Hukum, Evangelista, Beverly. “Coalition Existence in Presidential System in Indonesia According to the Constitution of Republic of Indonesia 1945.” Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan 2, no. 2 2014. Firdaus, Sunny Ummul. “Relevansi parliamentary threshold terhadap pelaksanaan pemilu yang demokratis.” Jurnal Konstitusi 8, no. 2 2016 91–112. Fossati, Diego. “Electoral reform and partisan dealignment in Indonesia.” International Political Science Review 41, no. 3 2020 349–364. Ginting, Fuad Putra Perdana, dan Anwar Saragih. “Ilusi Demokrasi Substansial di Indonesia Sebuah Kritik Terhadap Impementasi Parliamentary Treshlod.” Politeia Jurnal Ilmu Politik 10, no. 2 2018 79–90. Hamudy, Moh Ilham A., dan M. Saidi Rifki. “Strengthening the Multi-Party Presidential Government in Indonesia.” Politik Indonesia Indonesian Political Science Review 4, no. 2 2019 208–232. Heidhues, Mary Somers. “Violent, political, and administrative repression of the Chinese minority in Indonesia, 1945-1998.” Wacana 18, no. 1 2017 94–105. Indra, Mexsasai. “Gagasan Penyederhanaan Jumlah Partai Politik Dihubungkan Dengan Sistem Pemerintahan Republik Indonesia.” Jurnal Ilmu Hukum 1, no. 2 2011. Isra, Saldi. “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematik Koalisi Dalam Sistem Presidensial.” Jurnal Konstitusi, 2009, 107–131. Kholis, Nur. “Parliamentary Threshold and Political Rights Limitation.” Journal of Law and Legal Reform 1, no. 3 2020 445–456. Lee, Sungdeuk, dan Burhan Djabir Magenda. “Comparative Case Study on Institutionalization of Ruling Parties Under Military Authoritarianism Democratic Republican Party Under Park Chung-Hee Regime in South Korea 1961-1979 and GOLKAR Under Suharto Regime in Indonesia 1966-1998.” Journal of Social and Political Sciences 2, no. 4 2019. Lewis, Blane D. “Endogenous district magnitude and political party fragmentation in subnational Indonesia A research note.” Electoral Studies 55 2018 136–145. Lowry, Robert. Indonesia From Suharto to Democracy? Canberra, ACT Dept. of Political and Social Change, Research School of …, 2017. E-ISSN Nomor 2303-0569 Jurnal Kertha Semaya, Vol. 9 No. 1 Tahun 2020, hlm. 131-148 148 Marta, Auradian, Utang Suwaryo, Affan Sulaeman, dan Leo Agustino. “The Crisis of Democratic Governance in Contemporary Indonesia.” Jurnal Ilmiah Peuradeun 8, no. 1 2020 109–128. Naharuddin, Andi. “ELECTIONS IN INDONESIA AFTER THE FALL OF SOEHARTO,” 2016. Nurjaman, Asep. “The End of Political Party in Indonesia The Case of Weakening Voter’s Loyality in the Local Level, Malang.” The Social Sciences 12, no. 2 2017 342–346. Prasetya, Imam Yudhi. “Pergeseran Peran Ideologi Dalam Partai Politik.” Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan 1, no. 1 2011 30–40. Ramadhan, Muhammad Febry. “Politik Hukum Penyederhanaan Sistem Kepartaian Di Indonesia.” Lex Renaissance 3, no. 1 2018 6. Romli, Lili. “Koalisi dan Konflik Internal Partai Politik pada Era Reformasi.” Jurnal Politica Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri dan Hubungan Internasional 8, no. 2 2018. Savirani, Amalinda. “The Political Middle Class in Post-Soeharto Era Indonesia.” Continuity and Change after Indonesia’s Reforms Contributions to an Ongoing Assessment, 2019, 128. Siahaan, Nico Handani. “Formula Penyederhanaan Jumlah Partai Politik Di Parlemen Pada Pemilihan Umum Indonesia.” Politika Jurnal Ilmu Politik 7, no. 1 2016 102–114. Sunandar, Hendra. “Analisis sistem presidensialisme-multipartai di Indonesia studi atas divided government dalam relasi eksekutif-legislatif pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla,” 2015. Surbakti, Ramlan, dan Kris Nugroho. “Studi Tentang Desain Kelembagaan Pemilu yang Efektif,” 2015. Ufen, Andreas. “Party presidentialization in post-Suharto Indonesia.” Contemporary Politics 24, no. 3 2018 306–324. Warburton, Eve, dan Edward Aspinall. “Explaining Indonesia’s Democratic Regression.” Contemporary Southeast Asia 41, no. 2 2019 255–285. Peraturan perundang-undangan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Syafril EfendiAditya PerdanaThis research will look at the dynamics that happened post-presidential election of 2014 in Indonesia, which indicated a divided government in the parliament which caused a deadlock at the beginning of the chosen presidential candidates, Jokowi-Jusuf Kalla, for the 2014 - 2019 period. This was the aftermath of the combination between the presidential system and a multiparty system, which showed the executive-legislative relationship in a multiparty presidential system. It could also reveal the inability of the government and the opposition to reach common ground multiple times. However, the case in Indonesia is quite different and interesting to explore how the government aimed to reach a balance and run their administration. The executives were using the executive Toolbox to offer politically strategic positions for the opposition to join the governmental coalition and to intervene in the internal works of political parties. The approach used for this research was a qualitative design. The concept of divided government which was put forward by Hughes & Carlson 2015, was chosen to be the theoretical framework to analyze the dynamic factors of the case. And the theory of executive toolbox usage by Raile et al. 2011 was used by the writer to analysis the presence of executive power in suppressing the dynamics that happened. The results of the research showed that the usage of the executive Toolbox was part of a response from the regime of Jokowi to create stability in facing the dynamics that happened and to gain the support of the opposite parties in the parliament to join the governmental coalition of 2014-2019’s Jokowi-Jusuf Kalla period. This indicates that the government under Jokowi, which combined a multiparty system and the presidential system, can be considered a success, especially in terms of gaining support from the coalition through the usage of the executive Ummul FirdausGeneral Election as a means to realize the ideal of democracy does not merely aim to determine who will get the position in the parliament but it also should represent the sovereignty of the people. In the 2009 General Election, however, parliamentary threshold was prevailed and implemented. This regulation is included on Article 202 The General Election Act number 10/2008 which stated that political party of General Election participant must fulfil at least an amount of of total valid national vote to be included in the representation determination of the House of Representative. A number of Indonesian peoples objected the rule. This is because parliamentary threshold deemed to be potentially demolished the political right of the people. Besides, the implementation of parliamentary threshold in bottom level considered to have some potential horizontal conflict because, for example, if someone voted as a selected candidate but they do not fulfil the parliamentary threshold, this particular candidate cannot obtain a seat in the parliament. This can be seen in the petition of judicial review to the Constitution Court regarding this parliamentary threshold regulation. It can be concluded that the relevance of parliamentary threshold to democratic General Election execution can not be separated from the mechanism and reasons in determining the the amount of threshold numbers in said rule. Requirement for determining the threshold is not merely based on a reason to strengthen presidential system chosen by the Indonesian people. In this case, the people’s voice should not be represented merely by the parliamentary number having position in the House of Representative. If this happens, then there will be some concerns of the emergence of political interest to strengthen the position of a particular political party in the parliament. Nur KholisParliamentary threshold or political party threshold to occupy the people's representatives in parliament is a provision that has been regulated in the law. Article 414 paragraph 1 of Law Number 7 of 2017 concerning General Elections regulates the existence of a parliamentary threshold. This means that the parliamentary threshold is legal. Especially based on legal considerations of the Constitutional Court in the Constitutional Court Decision Number 3 / PUU-VII / 2009 and Constitutional Court Decision Number 20/PUU-XVI/2018, the parliamentary threshold is an open legal policy so that it can be said to be constitutional. But in reality the application of the parliamentary threshold limits political rights. The limitation of political rights occurs to participants and voters in the General ElectionThis article attempts to discuss the practice of democratic governance in contemporary Indonesia. This study is essential since Indonesia is one of the countries transitioning from authoritarianism towards democracy following the fall of Suharto’s regime. This study shall answer whether democratic governance in Indonesia experiences a crisis, with a focus of analysis on the four dimensions of democratic governance, namely 1 rule of law, 2 human rights, 3 civil society, and 4 elections and political process. This study applies a qualitative method by collecting data from document studies and literary studies. The findings in this study indicate that democratic governance in Indonesia experiences a crisis as evidenced by the remaining-weak legal supremacy in Indonesia, and the existence of violations of the implementation of human rights, eventually led to horizontal conflicts. The inability of civil society organizations to carry out their functions in democratization as an intermediary between the community and the state as well as to influence government policies for the public interest. Another recent weakness is there are still strong issues related to primordialism in the occasion of General Elections. This crisis of democratic governance shall bring Indonesia to "the decline of democracy" instead of democratic Ilham A. HamudyM. Saidi RifkiThe Multi-Party Presidential Government in Indonesia has reached a critical point. The percent parliamentary threshold rule in the 2009 Election was incapable to address the issue. The parliamentary threshold was raised to percent in 2014, in the hope to reduce the number of party joining the election, but it failed to do so. There were 9 national parties participating in the 2009 election, and it will be increased to 16 in the 2019 election. Theoretically, the combination of multi-party parliament in a Presidential Government is rather strange. It is not surprising that the "conflict" between the president and parliament often occurs. There suppose to be a coalition supporting the government in parliament, but the coalition is not a firm one. The coalition did not have a significant influence in strengthening the presidential government. Therefore, this study intends to provide a complete picture of multi-party system practices while trying to provide solutions for strengthening the presidential government in Indonesia. To achieve this goal, this study uses the literature study method in collecting relevant information, using a qualitative approach. This approach is considered appropriate because multi-party phenomena and presidential systems are multidimensional. In contrast to previous research which was limited to the description and problems of multiparty systems, this research besides describing the system of government also provided moderate solutions that were considered to be in accordance with the Indonesian context. This study assumes that strengthening presidential systems can be done if the political parties are more modest. In addition, parliamentary support for the president must be optimized. The results of the study concluded that the strengthening of presidential systems must be carried out through the purification of the government system contained in the constitution, forming and strengthening the ranks of government coalitions in parliament, and carrying out a number of institutional engineering through various forms. These three things must be wrapped in a constitutional frame amendments to the 1945 Constitution and regulations revisions to laws and government regulations. The amendments and revisions can be done through three corridors, namely the intra-parliamentary movement, the extra-parliamentary movement, and the IndraPolitical reforms in 1998 which was followed by a free and democratic elections in 1999, has a fairly fundamental change relationship patterns that characterized the President and the Parliament many political parties that play a role in the constitutional structure. Because it came back the idea of simplification is a political party. efforts to simplify the number of political parties is a must in order to support an effective presidential system of government, while the effort to do that is by simplifying the number of political parties naturally through the electoral threshold, tighten the terms of the establishment of political parties dismaping it is also the reality that there is currently a clear need for regulation of the coalition system. Fuad PutraAnwar SaragihThis study raises a discussion about the Illusion of Substantial Democracy in Indonesia A Criticism of the Implementation of Theshold's Parliamentary. Since the 2009 general election. Indonesia has begun to introduce a parliamentary threshold system Parliamentary Theshold which sets a threshold. Then in the next election, the 2014 election rose to in the spirit of simplifying the number of parties in parliament. However, in fact this did not happen. Because, the number of political parties resulting from the 2009 elections which were 9 parties actually increased to 10 parties in the 2014 election. There were other problems in the electoral system using Theshold Parliamentary. As in the 2009 elections there were 29 political parties whose voices were lost due to this system, then in the 2014 elections there were 2 political parties who also lost votes due to the threshold system. Of course, as a democracy the people must know where the voice is. Is the system of implementing the Theshold Parliamentary system in the Indonesian elections in line with the essence of substantial democracy? The results of this study indicate the parliamentary threshold system has an impact on the loss of the voice of small parties, transactional presidential elections and the parliamentary threshold limiting democratic rights. Indonesia needs an electoral system that is honest, free, high-quality, transparent and represents the wishes of the majority of Indonesia's ractates - Sistem kepartaian yang dianut sebuah negara dapat diklasifikasikan ke dalam tiga jenis yaitu sistem partai tunggal, sistem dwi partai, dan sistem multipartai. Sistem multipartai tidak memiliki satu partai yang cukup kuat untuk membentuk pemerintahan sendiri sehingga membentuk koalisi dengan partai karena itu, sistem multipartai mencerminkan adanya lebih dari dua partai yang dominan. Sistem multipartai pada umumnya berkembang di negara yang memiliki keanekaragaman dalam masyarakat. Di mana perbedaan ras, agama, dan suku bangsa sangatlah kuat. Sistem multipartai terbagi ke dalam dua kategori yaitu sistem multipartai sederhana dan sistem multipartai ekstrem. Baca juga Dampak Sistem Multipartai pada Masa Demokrasi Liberal Sistem Multipartai Sederhana Sistem multipartai sederhana adalah sistem kepartaian lebih dari dua partai tetapi tidak terlalu banyak partai yang hidup dan mengikuti pemilu. Pada sistem multipartai sederhana, partai yang akan mengikuti pemilu diharapkan hanya lima partai saja karena dengan lima partai, penghargaan terhadap kebebasan berpendapat dapat berjalan baik. Sistem multipartai sederhana mengasumsikan bahwa partai-partai yang ada dapat mewakili partikulturalisme kepentingan, golongan, dan kelas dalam sistem multipartai sederhana, kompetisi berjalan lebih dinamis tetapi fokus hanya pada partai yang terbatas, sehingga tidak membingungkan masyarakat. Jika partai pemenang pemilu tidak memenuhi syarat untuk memerintah, maka ia dapat melakukan koalisi terbatas dengan partai lain. Koalisi ini masih memberikan stabilitas agar pemerintahan berjalan secara efektif. Baca juga Sistem Kepartaian Partai tunggal, Dwi Partai, dan Multipartai Sistem Multipartai Ekstrem Sistem multipartai ekstrem adalah sistem kepartaian dengan jumlah partai yang banyak. Pendirian partai politik tidak dibatasi. Syarat keikutsertaan partai politik dalam pemilu tidak diperketat. Salah satu konsekuensi dalam penerapan sistem multipartai ekstrem adalah tingkat pelembagaan sistem kepartaian rendah. Akibatnya, gejala perpecahan internal partai sangat kuat. Karakteristik lain dari sistem multipartai ekstrem adalah terfragmentasinya kekuatan politik dalam parlemen. Fenomena persaingan antarparpol di dalam dan di luar parlemen akan menghiasi dinamika politik multipartai. Berikut kelemahan sistem multipartai ekstrem Pemerintahan selalu dalam keadaan tidak stabil. Program pemerintah kurang berjalan dengan efektif. Ideologi partai politik tidak lagi melandasi konstitusi negara atau falsafah hidup bangsa karena cenderung lamban dalam mengembangkan ekonomi makro maupun mikro. Mengurangi fungsi nasionalisme dalam suatu negara. Belum pernah melahirkan negara yang super power. Sedangkan, kelebihan dari sistem multipartai ekstrem adalah Setiap individu diberikan kesempatan menjadi pimpinan sebuah partai politik. Kontrol sosial lebih banyak dilakukan oleh partai-partai politik. Memberikan alternatif pilihan pada warga negara. Pilihan ada pada warga negara. Referensi Jurdi, Fajlurrahman. 2020. Pengantar Hukum Partai Politik. Jakarta Penerbit Kencana Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta Gramedia Pustaka Utama Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

sistem banyak partai sangat tidak menguntungkan bagi indonesia karena